Jumat, 16 November 2012

Veda bukan wahyu Tuhan

Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini

Veda bukan wahyu Tuhan ? ( Dari seri buku “Hindu di balik tuduhan dan prasangka”)
   
Umat hindu boleh saja meyakini bahwa kitab suci mereka yakni Veda bersifat kekal, tak berawal, dan juga tidak berakhir. Bahwa catur Veda adalah sabda atau wahyu langsung dari Tuhan sehingga disebut sebagai kitab Sruti. Tapi apakah dalam pandangan umat lain, klaim umat hindu itu bisa mereka terima? Mustahil dan jangan harap. Kenyataannya, keyakinan umat hindu yang demikian justru dijadikan senjata ampuh untuk melecehkan hindu. Mereka menyebut Veda sebagai kitab buatan manusia dan Hindu adalah agama budaya. Karena apa ? hanya karena umat hindu tidak bisa menyebutkan tanggal, bulan, dan tahun berapa tepatnya Veda diwahyukan. Bagi sebagian orang, khususnya penganut agama abrahamik yang masih sangat meyakini pentingnya sejarah itu, kebenaran agama seolah sangat tergantung pada kebenaran sejarah. Ironis memang, sebab faktanya pertikaian dan konflik antara agama-agama abrahamik (Yahudi, Kristen, dan Islam ) sejak ratusan tahun yang lalu itu, terjadi justru karena mereka saling beda pendapat dalam memaknai sebuah peristiwa sejarah. Misalnya, tentang siapa yang mati di salib, Yesus ataukah Yudas? Siapa anak Nabi Ibrahim yang akan dikorbankan, Ismail atau ishaq? Umat islam meyakini bahwa ismail yang hendak dikorbankan sedangkan umat Kristen bersikeras bahwa Ishhaq yang akan dikorbankan. Peristiwa ini melatarbelakangi lahirnya hari raya kurban bagi umat islam tetapi seolah tidak menjadi hal penting bagi umat kristiani. Bayangkan bahwa agama yang berada dalam satu rumpun inipun masih tidak pernah bisa hidup rukun karena masing-masing selalu mengklaim diri sebagai yang paling baik, paling benar, dan paling sempurna sekarang malah sudah mengomentari keyakinan lain. Entah apa pentingnya bagi peningkatan iman spiritual mereka untuk mengetahui tanggal pasti pewahyuan Veda.

Bagi umat islam, patokan mereka adalah pewahyuan Al-qur’an. Nuzulul qur’an yang disebut pula sebagai “Malam Lailatur Qadar’ adalah peringatan peristiwa bersejarah, yaitu saat Nabi Muhamad pertama kali menerima wahyu dari Allah melalui perantaraan Malaikat Jibril (Jabir,1997). Tim penterjemah Al-qur’an (1984:59) menyebut bahwa pewahyuan pertama itu terjadi pada tanggal 6 agustus 610 masehi, sedangkan sumber lain (Jabir,1997:26) menyebut peristiwa itu terjadi pada tanggal 22 Desember 610 masehi ketika Nabi Muhamad berusia 40 tahun. Wahyu itu, menurut berbagai referensi,  diterima oleh Nabi Muhamad ketika beliau sedang melakukan tahannut (bermeditasi) di goa Hira, dekat kota Mekkah. Ayat-ayat selanjutnya yang termuat dalam Qur’an diwahyukan sampai akhir hidup Nabi Muhamad, yaitu selama selang waktu 22 tahun, 2 bulan, 22 hari (Jabir,1997). Begitu pula bagi umat Kristiani. Kelahiran Yesus menjadi patokan penting, sebagai tonggak sejarah penginspirasi lahirnya agama Katholik di kemudian hari. Kelahiran dan nama Yesus (Al Masih) menginspirasi terciptanya penanggalan / kalender masehi yang disepakati sebagai kalender internasional.


Pandangan miring terhadap kitab-kitab Weda dan ajaran-ajarannya, bukan lagi merupakan hal yang baru. Seperti diketahui, bahwa perkenalan dengan orang barat, khususnya perkenalan orang eropa dengan ajaran Weda, dimulai dengan datangnya mereka sebagai penjajah colonial di India pada abad 17 dan seolah sudah menjadi karakter umum bangsa penjajah bahwa mereka akan selalu menganggap dirinya superior dan lebih unggul dalam segala hal dibandingkan masyarakat yang dijajahnya terlebih dalam hal agama dan kebudayaan. Tak terkecuali colonial inggris yang berlatar belakang Kristen Eropa pada masa itu. Sejak pertama kalinya mereka berkenalan dengan kitab-kitab Weda, mereka telah secara terang-terangan dan arogan menyebut Weda sebagai hasil karya manusia primitive india yang penuh ketahayulan. Karena itu mereka merasa berkewajiban untuk “menyelamatkan” dan membebaskan penduduk india (Hindu) dari belenggu mistis, keterbelakangan, dan ketahayulan yang telah berlangsung lama selama ribuan tahun sebagai akibat menjalankan ajara Weda. Upaya ‘Penyelamatan’ itu dilakukan secara sistematis dan dengan strategi yang matang terutama dengan terlebih dahulu mempelajari Weda lalu mencari dan menunjukkan keburukannya. Tentu saja apa yang mereka anggap ‘Buruk’ itu hanya dinilai berdasarkan standar pemahaman dan sudut pandang agama serta kitab suci mereka.
Upaya penyelamatan demikian juga tercermin dalam paparan Frank Gaetamo Morales (Mandrasuta,2006 ; 39-42) yang menguraikan bagaimana dampak penjajahan inggris terhadap perkembangan hindu di India.

Dalam catatannya, Morales menulis “…Sebuah kejadian tragis di dalam sejarah agama Hindu yang amat panjang kita saksikan terjadi selama abad 19. Agama Hindu klasik, tradisional yang telah bertanggung jawab atas perkembangan berlanjut selama ribuan tahun dari budaya, arsitektur, music, filosofi, ritual, dan teknologi canggih, berada di bawah serangan mematikan selama abad 19 di bawah penjajahan inggris seperti belum pernah ada presedennya dalam sejarah dunia. Selama waktu singkat dalam abad itu, keindahan dan keagungan kuno dari agama hindu klasik yang telah berdiri tegak menghadapi ujian selama ribuan tahun kini menerima serangan ideology secara langusng. Apa yang membuat periode ini dalam  sejarah hindu khususnya paling tragis adalah bahwa alat atau apparatus utama yang dipergunakan oleh inggris dalam upayanya menghancurkan agama hindu tradisional adalah putra-putri hindu itu sendiri yang telah dididik secara inggris, dan secara spiritual di kooptasi. Melihat agama hindu melalui mata para tuan inggris mereka, satu gelombang wabah abad 19 para intelektual hindu yang diingriskan (Anglicized Hindu Intelectuals) merasa sebagai kewajiban suci mereka untuk membaratkan atau memodernkan agama hindu tradisional supaya lebih cocok dengan para tuan eropa yang menguasai negeri itu.
Morales menyebutkan, salah satu fenomena yang terjadi selama perioda sejarah ini adalah pabrikasi atau penciptaan dari satu gerakan yang dikenal dengan ‘ Neo Hinduisme’ (Agama Hindu baru). Yang digunakan sebagai senjata efektif untuk menggantikan keyakinan masyarakat india tradisional.
Senada dengan itu, Satvarupa (1997) menyatakan bahwa sebelumnya pada abad 18, para misionaris Kristen eropa sengaja menjalankan sebuah strategi besar dalam upaya mereka mengalihkan penduduk India ke agama Kristen. Gagasan mengenai ini dicetuskan oleh colonel Boden, yang kemudian pada tanggal 15 Agustus 1811 menghibahkan dana dalam jumlah sangat besar kepada Universitas Oxford, di Inggris guna membentuk fakultas baru yang khusus mempelajari hindu dan kebudayaan india.  Monier William, yang menjabat sebagai salah satu dekan pada fakultas oriental studies itu menjelaskan misi dari pemberian dana dimaksud.
The special object of his (Boden’s) munificent bequest was to promote the translation of the scriptures into English…to enabale his countrymen to proceed in the conversion of the natives of India to Christian Relegion. (terjemahannya : Tujuan khusus pemberian dana hibah dalam jumlah besar olehnya (Kolonel Boden) adalah untuk meningkatkan upaya penterjemahan kitab-kitab Weda ke dalam bahasa inggris…guna memungkinkan warga Negara inggris dalam mempercepat pengalihan agama penduduk india asli ke agama Kristen.

Sekali lagi perlu dicatat bahwa tujuan penterjemahan kitab-kitab Weda ke dalam bahasa inggris pada masa itu bukanlah agar Weda bisa dikenal dan dipelajari lebih luas oleh penduduk dunia tapi justru sebaliknya. Para sarjana misionaris itu menterjemahkan, mengomentari, serta mengulas ayat-ayat Weda berdasarkan sudut pandang dan pemahaman mereka demi keuntungan agama Kristen .
Subramuniyasvami (1997:608) juga menyebutkan ‘ketidak tulusan’ niat para misionaris inggris tersebut. Menurutnya, cemoohan dan pelecehan sebagai tujuan dari penterjemahan kitab-kitab Weda itu tergambar jelas dalam surat Max Muller, salah seorang ahli sansekerta berkebangsaan jerman yang bekerja pada pemerintah colonial inggris di india. Kepada istrinya di jerman pada tahun 1886, Ia menulis…..
“ I hope I shall finish the work, and I feel convinced, though I shall not live to see it, yet the edition of mine and the translation of the Weda will hereafter tell to great extent on the fate of India and on growth of millions of souls in the country. It is the root of their religion, and to show how  them what the root is, I feel sure, is the only way of uprooting all that has sprung from it during the last three thousand years “
(Terjemahannya : Aku berharap dapat menyelesaikan pekerjaan ini, dan aku yakin meskipun mungkin aku tidak sempat menyaksikan dalam hidupku edisi terjemahanku dan terjemahan Veda lainnya akan sangat menentukan nasib india kelak, dan perkembangan jutaan roh yang lahir di negeri ini. (Kitab-kitab ini) adalah akar dari agama mereka dan aku yakin bahwa satu-satunya cara untuk mencabut semua yang berkembang darinya sejak tiga ribu tahun terakhir ini adalah dengan menunjukkan kepada mereka apa sebenarnya (kelemahan-kelemahan) akar itu.

Kitab-kitab Weda berbahasa inggris hasil terjemahan Max Muller beserta teman-teman misionarisnya, yang penuh bias dan sentiment keagamaan itu hingga kini masih sangat banyak menghiasi rak-rak perpustakaan penting dunia, dan dianggap sebagai buku pegangan standar dalam mempelajari Weda, atau hindu serta kebudayaannya. Karena itu tidaklah mengherankan jika siapapun yang saat ini membaca kitab-kitab itu, pasti segera memiliki kesan negative terhadap ajaran hindu.
Memang terkesan agak aneh ketiadaannya catatan tentang pewahyuan Weda ini. Ditemukannya kitab Rg Weda sebagai kitab tertua di dunia, membuktikan bahwa masyarakat india kuno telah mengenal budaya tulis menulis. Tapi anehnya mengapa tidak ada naskah atau buku-buku yang mencatat sejarah India di masa itu? Misalnya di Yunani ada tokoh bernama Herodotus yang mencatat peristiwa-peristiwa sejarah penting Yunani purba. Begitu pula di Romawi kuno ada pencatat sejarah bernama Livy, tapi di India kuno,  tidak kita temukan ahli sejarah yang merekam dan mencatat peristiwa-peristiwa penting di masa itu, berdasarkan urutan atau kronologi kejadiannya. Apakah karena masyarakat India pada masa itu saking primitivenya sehingga tidak mampu melakukan pencatatan ? tentu saja tidak, karena buktinya mereka telah menulis Rg Veda. Menurut sejarahawan India, hal ini disebabkan karena mereka telah menerima dan merasa cukup dengan versi sejarah yang ada dalam sastra (kitab-kitab Weda). Kebudayaan masyarakat pada waktu itu kurang mengganggap penting tradisi mengabadikan atau mencatat sejarah duniawi. (mereka puas dengan menekuni ajaran agama yang telah diwariskan secara turun temurun, dan mereka tidak pernah terbersit keinginan untuk mengoreksi keyakinan lain dengan cara begitu-keterangan penulis).

   Pengelompokan agama menjadi agama langit dan agama bumi, tentu didasari pada asumsi tertentu yang sesungguhnya tidak menjadi masalah selama asumsi itu tidak melecehkan apalagi samapi merugikan agama lainnya. Persoalannya, yang mereka sebut agama langit adalah agama yang bersumber dari wahyu Tuhan. Sedangkan agama bumi adalah hasil pemikiran manusia tanpa ada campur tangan Tuhan sehingga konsekwensinya adalah agama bumi tidak mendapat tempat dan dikatakan tidak diakui oleh Tuhan. Karenanya menurut cara berfikir seperti ini, sia-sialah pemujaan atau praktek keagamaan apapun yang dilakukan oleh penganut agama bumi. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai klaim yang memposisikan agama hindu sebagai agama bumi, ada baiknya kita melihat apa pengertian wahyu itu sendiri. Menurut Lorens Bagus (2005) dalam bukunya kamus filsafat, kata wahyu dalam bahasa Indonesia identi dengan kata ‘reveal’ dalam bahasa inggris yang berarti :
1.      Reveal means : To make known (something hidden or kept secret), disclose, divulge ( wahyu = menyingkap sesuatu yang tersembunyi atau rahasia, mengungkapkan, membuka, atau memberitahukan)
2.      Reveal means : to expose, to view, to show, exhibit, display ( Wahyu = menunjukkan, melihat, menampakkan, menampilkan)
Sedangkan reveal religion (Agama wahyu) seringkali didefinisikan sebagai “ Agama apapun pada umumnya, atau agama tertentu yang dipandang sebagai agama yang didirikan, dikabarkan, dan dikembangkan oleh campur tangan dan komunikasi dari Tuhan”
Sementara itu dalam kamus besar bahasa Indonesia,(edisi 3, 2005 ;1265) kata ‘Wahyu’ diartikan sebagai petunjuk dari Allah yang diturunkan hanya kepada para Nabi dan Rasul melalui mimpi, dan sebagainya. Dan kata Nabi menurut pengertian kamus ini adalah orang yang menjadi pilihan Allah untuk menerima wahyu-Nya.
   Para sarjana Yahudi, Kristen, dan Islam pada dasarnya setuju dengan pengelompokkan agama mereka sebagai agama langit lalu agama-agama lain yang lahir sebelum dan sesudah mereka disebut agama bumi. Dan menurut difinisi ini, agama langit akhirnya di klaim sebagai agama yang lebih tinggi mutunya dibandingkan dengan agama bumi, bahwa hanya agama langit yang memiliki kebenaran, bahwa jalan keselamatan hanya ada pada agama mereka. Sedangkan agama bumi dituduh sebagai palsu dan sesat. 

Umat islam khususnya seolah mendapat jaminan dari Al-qur’an bahwa Islam adalah agama wahyu terakhir yang merupakan penyempurna agama dan kitab-kitab sebelumnya yang serumpun yaitu kitab Taurat (Perjanjian lama) dan kitab Injil (Perjanjian baru) dan sudah barang tentu juga dimaksudkan kepada kitab suci Veda. Pemikiran seperti itu dapat kit abaca pada pengantar Al-Qur’an terbitan Depag tahun 1984. Halaman 38-39 dalam bagian yang membahas “Perlunya Al-Qur’an diturunkan”
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa sulit sekali menemukan bukti empiris yang bisa membantu para ahli sejarah dalam menentukan kapan secara pasti Veda diturunkan. Mengingat dari beberapa sejarahawan yang mencoba melakukan hal tersebut mengalami banyak perbedaan tentang angka yang pasti dan selalu berubah setiap kali ada penemuan baru sehingga penelitian itu tidak bisa memberikan hasil yang memuaskan. Bahkan seorang ahli bahasa sansekerta dari amerika mengatakan “ all dates given in Indian literary history are pins set up to be bowled down again” yang terjemahannya adalah : bahwa penanggalan apapun yang coba diberikan pada sejarah kitab-kitab India adalah ibarat tancapan paku-paku pin yang setiap saat harus siap dicabuti ulang “

Pada umumnya banyak pihak yang mengakui bahwa pada masa lampau Weda lebih banyak diajarkan melalui tradisi lisan atau oral. Karena memang daya ingat manusia jaman itu jauh lebih baik dan tajam daripada ingatan manusia sekarang. Senada dengan ini, Dr.S.Radhakrishnan juga mengakui bahwa para pemikir besar India tidak pernah melakukan pencatatan atau mendokumentasikan sejarah perkembangan filsafat India karena para Acarya Weda itu sendiri berpendapat bahwa penelitian lebih jauh mengenai asal-usul kitab Weda tidak diperlukan lagi karena dalam kitab-kitab itu sendiri telah terdapat keterangan mengenai asal-usul ajaran Weda. Satsvarupa (1997) menyatakan bahwa para acarya meyakini asal-usul Weda adalah sebagai berikut :
Pertama, melalui tradisi lisan yang bermula bersamaan dengan penciptaan alam semesta pada saat Tuhan menyabdakan pengetahuan Weda kepada dewa Brahma (Mahluk hidup yang pertama ;red– bukan manusia pertama!)
Kedua, melalui Rsi Vyasa atau Vyasa dewa, penjelmaan Tuhan yang telah menuliskan kitab-kitab Weda pada awal jaman Kali sekitar 5110 tahun yang lalu. 

Secara umum, literature-literatur hindu menempakan Vyasadewa atau Krishna Dwipayana Vyasa sebagai pengkodifikasi Kitab-kitab Veda. Beliau memang bukan penerima langsung wahyu tersebut namun hanya menulis atau mencatatnya demi keperluan masyarakat manusia di jaman Kali yang menurut penglihatan beliau sudah akan sangat kehilangan kecerdasan dan daya ingat. Hal ini dapat kita lihat pada Bhagavata Purana :
Ta eva veda durmedhair  //  dharyante purusair yatha
Evam cakara bhagavan  //  vyasah krpana-vatsalah
(Demikianlah Rsi Vyasadewa yang mulia, yang sangat murah hati kepada rakyat awam, menyunting kita-kitab Veda agar dapat diresapi oleh orang yang kurang cerdas.

Karma-sreyasi mudhanam  // sreya evam bhaved iha
Iti bharatam akhyanam  //  krpaya munina krtam
(Atas kemurahan hatinya, Rsi yang mulia itu menganggap bijaksana bahwa ini akan memungkinkan manusia mencapai tujuan hidup tertinggi. Demikianlah beliau juga menyusun cerita sejarah besar berjudul Mahabharata untuk para wanita, buruh, dan kawan-kawan orang yang sudah dilahirkan dua kali / dwijati)

Dari sini akan semakin jelas bahwa disamping mencatat kembali semua wahyu Tuhan yang dulunya hanya diajarkan secara lisan menjadi sebuah kitab, Vyasadewa juga telah menulis kitab besar Mahabharata yang didalamnya berisi kitab Bhagavad Gita. Kitab ini (Bhagavan Gita) adalah kitab suci yang diakui dan diterima keagungan dan kebenarannya secara universal oleh semua sekte hindu di dunia. Bahkan Bhagavad Gita disebut dengan nama Pancama Veda atau Weda kelima. Meskipun Bhagavad Gita adalah bagian dari kitab Mahabharta, yang dianggap sebagai kitab Smrti (sesuatu yang diingat),  tetapi Bhagavad Gita adalah juga merupakan Gita-Upanisad yang mana dalam strutur atau sistematika kitab suci ditempatkan sebagai Veda Sruti (yang didengar/ diterima langsung) sebagaimana Arjuna menerima pelajaran ini dari Tuhan Sri Krishna sebelum dimulainya perang besar wangsa Kuru.

Mengenai kedudukan Bhagavad Gita sebagai kitab terpenting bagi seluruh umat hindu, tergambar dalam pernyataan Visvanathan (Sanjaya dan Maswinara, 2001 :98) sebagai berikut :
“ Aku rasa Bhagavad Gita adalah kitab yang paling penting dalam Hindu, karena berbagai subyek yang dibahasnya hanya dalam 700 sloka. Kitab ini menganjurkan perbuatan tanpa pamrih dan juga penghancuran ego serta keinginan. Ia juga mengajarkan berbagai cara untuk mengendalikan pikiran dan indera-indera. Semua ajaran Yesus tentang pengabdian dan kesatuan dengan Tuhan pada bab 11, 12,13,14, dan 18 dengan kalimat seperti “Masuklah kedalam-Ku, capailah Aku, patuhilah Aku, Sadari Aku, dan lain sebagainya. Keindahan Bhagavad Gita sedemikian  rupa sehigga penjelasannya membutuhkan seseorang yang telah memiliki perubahan kesadaran yang sempurna dan bukan hanya sekedar penampilan spiritualitas untuk dapat memahaminya……
Bhagavad Gita sebagaimana dikenal di dunia barat sebagai Song of God atau Nyanyian Tuhan merupakan ajaran dari Tuhan Sri Krishna yang telah mewujudkan dirinya ke dunia guna mengajarkan kembali ajaran kehidupan yang sama seperti ketika diwahyukannya saat permulaan jaman kepada dewa matahari.dan yang sekarang diajarkan kepada seluruh umat manusia melalui Arjuna.
Dalam ayat-ayat kitab suci Bhagavad Gita bisa kita temukan bahwa Arjuna mengalami peristiwa-peristiwa ajaib seperti yang dialami oleh Nabi Musa, Nabi Isa (Yesus) ataupun Nabi Muhamad saat menerima wahyu Tuhan pada jamannya masing-masing. Pada waktu itu di medan perang Kuruksetra, Tuhan Sri Krishna memperlihatkan kepada Arjuna “banyak sekali keajaiban yang belum pernah dilihat atau didengar oleh siapapun sebelumnya” (Bhagavad Gita. 11.6) dan “ apapun yang ingin dilihat, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, apapun juga yang ingin dilihat baik saat sekarang, masa lalu, maupun masa yang akan datang, berada secara lengkap di dalam penampakan badan Tuhan (Bhagavad .Gita : 11.7). namun Sri Krishna juga menyadari bahwa sebagai manusia biasa, Arjuna pasti tidak akan mampu melihat semua kejadian itu, karenanya dalam ayat kedelapan dari sloka 11 itu Sri Krishna bersabda : “ Tetapi engkau tidak dapat melihat-Ku dengan mata yang engkau miliki sekarang. Karena itu, Aku akan memberikan mata rohani kepadamu. Lihatlah kehebatan rohani-Ku” selanjutnya dengan penglihatan rohani yang diberikan tiu, Arjuna dapat melihat seluruh alam semesta dengan berbagai baiannya berada dalam perwujudan Tuhan Sri Krishna (Bhagavad Gita 11.34)


            Masih tetap meragukan bahwa Weda adalah juga wahyu Tuhan ? masih meragukan kwalifikasi Arjuna sebagai orang yang pantas menjadi penerima wahyu Tuhan ? kalau hal itu masih dipertanyakan, maka kita bisa merujuk pada penjelasan dalam Al-qur’an (Tim penerjemah-1984:41) yang menyatakan bahwa agama bukanlah hasil pemikiran umat manusia, seperti pernyataan ini “ Persoalan apakah agama itu  merupakan produk daripada manusia ? maka jawabannya sudah barang tentu bahwa ia bukan hasil pemikiran manusia; dan sebabnya adalah banyak. Agama-agama yang merata di dunia ini mempunyai ciri-ciri yang khas seperti :
Pertama, menurut ukuran yang biasa, maka para pembawa agama adalah orang-orang biasa. Mereka tidak mempunyai kekuatan dan kekuasaan yang lebih tinggi. Namun sungguhpun demikian, mereka berani memberikan ajaran kepada orang-orang besar maupun orang-orang kecil. Dan dalam waktu tertentu mereka dengan pengikut-pengikutnya meningkat daripada kedudukan yang rendah sampai kedudukan yang tinggi. Ini membuktikan bahwa mereka itu dibantu oleh kekuasaan yang lebih Agung (Tuhan)
Kedua, semua pembawa agama itu, adalah orang-orang yang sejak sebelum jadi Nabi telah dihargai dan dinilai tinggi oleh masyarakatnya karena ketinggian budi pekertinya, sekalipun oleh orang-orang yang kemudian hari menjadi musuhnya. Setelah mereka itu menyatakan tentang kenabiannya. Oleh karena itu, tidak masuk akal sama sekali bahwa mereka yang tidak pernah berdusta kepada manusia dengan serta merta berdusta terhadap Tuhannya. Pengakuan universal tentang kesucian dari kehidupannya, sebelum mereka menyiarkan agama yang mereka bawa, adalah suatu bukti tentang kebenaran pengakuan mereka.
Al-qur’an telah menekankan hal ini dengan menyatakan : Katakanlah “Jikalau Allah menghendaki, niscaya aku tidak akan membacakannya kepadamu dan tidak (pula) Allah memberitahukannya kepadamu. Sesungguhnya aku telah tinggal bersamamu beberapa hari sebelumnya. Apakah kamu tidak memikirkannya ? (surat (10) Yunus ayat 16).

Bahwa kitab suci agama bukanlah merupakan hasil pemikiran manusia sudah sangat jelas tergambar dalam keyakinan hindu bahwasannya Weda bersifat Apauruseya yang berarti bukan karya manusia. Yang mana pernyataan ini diperkuat lagi dalam ayat Bhagavata Purana 6.3.19 sebagai berikut ;
Dharmam tu saksad bhagavat-pranitam  
na vai vidur rsyao napi devah
Na siddha-mukhya  asura  manusyah
kuto nu vidyadhara-caranadayah
(Prinsip-prinsip dharma (Agama) yang sejati diciptakan oleh kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. Walaupun berada sepenuhnya dalam sifat kebaikan, bahkan seorang rsi agung yang mendiami planet-planet tertinggi sekalipun tidak dapat menetapkan prinsip-prinsip dharma yang sejati, tidak pula para dewa atau para pemimpin siddhaloka, apalagi para asura, manusia biasa, para Vidyadhara maupun para carana.” Lantas mengenai kwalifikasi manusia yang dipilih sebagai penerima wahyu, maka para rsi maupun Arjuna sendiri sangat memenuhi criteria untuk hal ini. Simaklah Bhagavad Gita Bab I sloka 26-38 dan juga Bab II sloka 5 dengan jelas menerangkan tingginya budi pekerti, kemuliaan, kemurahan hati, dan kesetiaan Arjuna pada prinsip-prinsip moral, serta kerelaannya untuk selalu berkorban demi kebahagiaan mahluk lain, sehingga akhirnya ia terpilih menjadi penerima wahyu Tuhan yang kemudian dikenal sebagai Kitab Bhagavad Gita. Jadi rasanya aneh dan terkesan mencari-cari kesalahan dan kelemahan orang lain saja, penilaian yang lebih dilandasi oleh rasa arogansi, superioritas serta fanatisme  sempit kalau para penganut agama Abrahamik itu masih menganggap bahwa Weda bukanlah agama wahyu Tuhan padahal dari semua keterangan itu sudah jelas bahwa kitab Weda diajarkan langsung oleh Tuhan ataupun penjelmaan beliau sebagai Avatara.




https://blogger.googleusercontent.com/tracker/7478368255341821932-2731316114593042351?l=renungan-ragane.blogspot.com

Tidak ada komentar: