Jumat, 07 Desember 2012

BHAGAVATAM Part 12 : KEMATIAN IBU DEWI KUNTI DAN DIMULAINYA JAMAN KALI

Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini


Bhima berkata, “ketika di istana Dhritarastra Krishna ditanya oleh Duryodhana, Dussasana, dan lain-lainnya, mengapa Beliau menjadi penengah dalam pertengkaran keluarga antara Kaurawa serta Pandawa dan lebih menyayangi pihak yang satu daripada pihak yang lain seakan-akan Pandawa merupakan kerabat yang lebih dekat dengan Beliau daripada Kaurawa, apakah jawaban Sri Krishna. Sekarang berusahalah mengingat jawaban itu. Bayangkanlah kejadian itu di hadapan Kakanda, Beliau berjalan hilir mudik seperti anak singa dan mengaum, “Apa yang Anda katakan? Apakah Kaurawa sama dekatnya kepada saya, seperti Pandawa? Tidak, mereka tidak akan pernah berada pada tingkat yang sama. Dengar akan saya beritahukan kepada kalian pertalian keluarga yang mengikat saya pada Pandawa; untuk badan saya ini, Dharmaraja dapat diibaratkan dengan kepala, Arjuna dapat iibaratkan dengan bahu dan kedua tangan; Bhima seperti tubuh; Nakula dan Sahadewa ibarat kedua kaki. Bagi badan yang tersusun seperti itu, Krishna adalah jantungnya. Anggota tubuh bergerak dengan kekuatan jantung; tanpa jantung mereka tidak bernyawa.”   

“Apakah arti pernyataan ini bagi kita? Itu berarti kita Pandawa tidak akan hidup karena jantungnya tidak berfungsi lagi. Kita akan menghadapi kehancuran. Bhagawan yang merupakan pengejawantahan waktu berusaha melebur kita ke dalam Beliau. Kita harus siap menjawab panggilan Beliau.”


“Ini sudah cukup sebagai bukti bahwa Zaman Kali sudah tiba. Pada hari Krishna meninggalkan dunia ini, hari itu juga pintu zaman Dwapara tertutup dan gerbang Zaman Kali terbuka. Jika tidak, dapatkah kekuatan jahat dan berbagai pikiran busuk berkeliaran tanpa kendali? Dapatkah Arjuna yang tidak pernah melupakan ritus mantra untuk setiap panah bertuah yang dilepaskan dari busurnya bahkan di tengah pertempuran yang berkecamuk dengan ganas dan serba cepat, tiba-tiba dapat lupa sama sekali dalam keadaan yang demikian gentingnya ketika suku bangsa barbar menyerang kaum wanita dan anak-anak? Pasti semangat Zaman Kalilah yang telah menyebabkan malapetaka dahsyat ini.”     
Pada waktu itu Nakula ikut berbicara. Katanya, “Kakanda sekalian, langit di Timur memperlihatkan datangnya fajar. Marilah kita memberitahu para ratu dan ibu kita mengenai perkembangan ini. Mari kita putuskan langkah berikutnya yang harus kita ambil, tanpa ditunda lagi. Tubuh tidak langsung hancur begitu nafas meninggalkannya bukan? Tentu saja hidup telah meninggalkan kita pada saat Krishna berpulang, tetapi anggota-anggota badan masih akan hangat untuk sementara waktu. Hari ini atau besok, kitapun harus pergi ke kehadiran Sri Krishna. Janganlah kita membuang-buang waktu dalam duka dan kesedihan. Lebih baik kita memikirkan langkah yang selanjutnya harus kita tempuh dan mempersiapkan diri untuk perjalanan itu.” Semua saudaranya menyetujui saran bijak yang dijiwai semangat ketidakterikatan ini.      

Pada mulanya mereka cemas memikirkan bagaimana berita duka itu akan mempengaruhi Draupadi, Subhadara dan ibu mereka yang telah uzur, tetapi mereka mengabaikan kekhawatiran itu dan berniat menyampaikannya. Bila Bhagawan telah meninggalkan raga, mengapa harus mencemaskan apa yang akan terjadi pada orang lain? Kelima saudara itu memutuskan bahwa Dharmaraja, yang tertua diantara mereka, harus pergi menemui sang ibu; mereka anggap itulah cara terbaik.    

Kegembiraan menghabiskan waktu lebih cepat, tidak demikian halnya dengan kesedihan. Bila orang berada salam keadaan gembira, waktu berjalan dengan cepat; bila mereka sedih, waktu bergerak lambat. Kesedihan itu berat bagaikan pegunungan, bak air bah pada akhir zaman.       

Walau ibu kota kerajaan Dharmaraja adalah Indraprastha takhta pusaka leluhurnya masih berada di Hastinapura. Tempat itu telah kehilangan pamornya sejak perang Mahabharata menewaskan para pangeran dalam keluarga raja serta semua keturunan sepuh. Karena itu, setiap tahun Dharmaraja melewatkan beberapa bulan di Indraprastha dan selebihnya di Hastinapura. Karena tidak mengetahui hal ini, (setibanya dari Dwaraka) Arjuna pergi ke Indrapastha. Ketika mendapati bahwa Dharmaraja tidak berada disitu, ia meninggalkan beberapa wanita Dwaraka yang dapat diselamatkannya dari suku bangsa barbar di kota itu, kemudian melanjutkan perjalanan ke Hastinapura. Ia disertai seorang Yadawa sebatang kara bernama Vajra, yaitu salah seorang buyut Sri Krishna, satu-satunya yang masih hidup diantara kaum pria warga Dwaraka. Vajra yang malang tidak ingin memperlihatkan diri kepada siapapun juga; ia merasa sangat malu karena masih hidup. Ia demikian sedih atas kematian semuanya sehingga selalu menyembunyikan diri di dalam kamar yang gelap dan sepanjang waktu menggerutu sendiri dengan murung.       
 
Dalam waktu singkat Ibu Suri Kunti Dewi mendengar dari seorang pelayan bahwa Arjuna telah tiba. Kunti Dewi berjaga sepanjang malam dengan harapan Arjuna akan segera datang menemuinya dan menceritakan kabar dari Dwaraka. Ia tidak memadamkan pelita dan tidak mau tidur. Bila terdengar olehnya suara tapak kaki yang paling samar sekalipun, dikiranya Arjuna telah datang, lalu ia bangkit dengan gembira dan berkata, “Oh Nak, Ibu senang kamu datang. Apa kabarnya?” Ketika tidak ada yang datang, ia memanggil dayangnya agar datang ke kamar lalu berseru, “Apa artinya hal ini? Bukankah kau katakan padaku Arjuna telah datang dari Dwaraka? Mengapa ia belum menemui aku? Pasti engkau keliru; tentu engkau melihat orang lain datang dan mengiranya Arjuna. Jika ia telah datang, pasti ia akan segera ke sini.” Demikian Kunti tidak tidur sepanjang malam, ia melewatkan waktunya di antara harapan dan kekecewaan.     

Fajar menyingsing; setiap orang sibuk dengan tugas masing-masing. Sementara itu banyak pertanyaan yang timbul dalam hatinya. Mengapa Arjuna tidak datang menemuinya? Apakah ia benar-benar telah kembali? Apakah ia tidak dapat segera datang keran masih ada masalah politik mendesak yangn harus dibicarakan dengan Saudara-Saudaranya hingga larut malam? Atau apakah perjalanan itu demikian melelahkan sehingga ia memutuskan untuk menemui ibunya keesokan paginya dan bukan malam itu juga? Jangan-jangan ada suatu kemelut yang terjadi di Dwaraka sehingga Krishna menyuruh Arjuna segera berkonsultasi dengan Dharmaraja dan kembali lagi untuk menyampaikan jawaban serta pemecahannya? Apakah ia lupa akan kewajibannya kepada ibunya karena kemelut keadaan genting itu? Tentu saja Arjuna akan datang bila pagi telah menjelang, demikian akhirnya ia menghibur diri sendiri.         

Kunti Dewi bangun ketika kegelapan masih menyelimuti bumi; ia mandi, mengenakan pakaian baru, dan bersiap-siap menerima putranya. Pada waktu itu timbulah keraguan lain dalam hatinya dan membuatnya resah. Setiap malam semua puteranya selalu menemuinya, mereka datang berurutan lalu bersujud di kakinya, mohon diri untuk pergi tidur dan mengharapkan doa restunya. Ia heran mengapa malam ini tidak ada seorangpun yang datang? Hal ini membuat kecemasannya makin menjadi. Ia mengirim beberapa dayang ke tempat tinggal Draupadi dan Shubhadra dan mendapati bahwa tiada seorangpun di antara putranya datang untuk makan malam. Kunti makin merasa cemas. Ketika hatinya sedang tercabik kepedihan, datanglah seorang pelayan wanita lanjut usia memberitahu bahwa Dharmawaja dan Arjuna sedang dalam perjalanan menuju ke tempat tinggalnya. Kunti menjadi resah, takut akan apa yang mungkin mereka sampaikan, senang akan ia akan bertemu dengan Arjuna yang telah pergi demikian lama, dan ingin sekali mendengar kabar tentang kaum yadawa. Harapannya bercampur aduk. Ia gemetar karena tidak mampu menahan kecemasannya.       

Dharmaraja masuk, bersujud di kakinya, lalu berdiri diam. Arjuna tidak mampu bangkit dari sungkemnya sampai lama. Kuntilah yang berbicara dan menghiburnya. “Anak yang malang. Bagaiman engkau bisa pergi meninggalkan Ibunda begitu lama?” Diusap-usapnya Arjuna dengan penuh kasih, tetapi sebelum ia memberikan doa restu atau menanyakan kesehatan dan kesejahteraannya, ia bertanya, “Arjuna, Bunda dengar engkau telah datang semalam, benarkah itu? Mengapa engkau tidak datang menemui Bunda malam itu juga? Bagaimana mungkin seorang ibu yang tahu anaknya sudah datang setelah pergi lama, dapat tidur dengan tenang tanpa melihatnya? Yah, Bunda senang setidak-tidaknya engkau telah datang pagi ini. Beritahulah Bunda apa kabarnya? Apakah ayah mertua, ibu mertua, dan kakekmu semuanya baik? Kakak Ibunda, Waasudewa, sekarang sudah tua sekali, bagaimana keadaannya? Apakah ia masih dapat berjalan-jalan? Ataukah di tempat tidur terus seperti Bunda? Apakah ia dirawat seperti Bunda dan segalanya tergantung orang lain?” Kunti Dewi memegang tangan Arjuna dan menatap wajahnya lekat-lekat. Tiba-tiba ia bertanya, “Apa yang Bunda lihat ini, Nak? Bagaimana kulitmu menjadi begini gelap? Mengapa matamu bengkak dan merah seperti ini?”          

“Bunda mengerti. Dwaraka amat jauh dan perjalanan yang lama melewati hutan berakibat buruk bagimu. Debu dan teriknya matahari mempengaruhi engkau; kelelahan akibat perjalanan itu tampak di wajahmu. Itu akan pulih lagi nanti. Katakan apakah pesan Shyamasundara, Krishnaku, buat Bunda? Kapan Beliau akan datang ke sini? Atau tidak inginkah Beliau menemui Bunda? Apakah Beliau mengatakan sesuatu? Tentu saja Beliau adalah Waasudewa, Beliau dapat melihat semuanya dari manapun Beliau berada. Bilakah Bunda dapat melihat Beliau lagi? Apakah buah yang ranum ini masih berada di pohon hingga kedatangan Beliau?”  

Kunti Dewi berkali-kali bertanya dan berkali-kali dijawabnya sendiri. Arjuna dan Dharmaraja tidak mendapat kesempatan untuk mengatakan hal yang hendak mereka sampaikan. Arjuna mengucurkan air mata tanpa dapat ditahan lagi. Kunti Dewi mengamati kejadian yang aneh ini. Ditariknya Arjuna ke dekatnya sehingga kepala putranya tertumpang di bahunya. “Nak, apa yang terjadi? Katakan pada Bunda. Bunda tidak pernah melihat air mata di wajahmu. Apakah Gopala marah kepadamu dan menyuruhmu pergi karena engkau tidak layak menyertai Beliau? Apakah bencana mengerikan semacam itu terjadi padamu?” Ia diliputi kesedihan, tetapi berusaha sedapat-dapatnya menghibur putranya.       
 
Pada waktu itu Dharmaraja menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan meratap sambil terisak-isak, “Ibunda! Bunda masih berbicara tentang Waasudewa kita? Sudah sepuluh hari berlalu sejak Beliau meninggalkan kita. Beliau telah pergi, kembali ke tempat Beliau yang sejati. Semua Yadawa telah meninggal.” Sementara Dharmaraja berbicara, Kunti membuka matanya lebar-lebar dan bertanya, “Apa? Gopalaku… Nanda nandanaku… permata hatiku… hatiku… sudahkah Beliau membuat bumi ini menjadi janda? Oh Krishna… Krishna…,” dan seakan-akan hendak menyusul Beliau, saat itu juga ia meninggal.
Kunti Dewi mengikuti jalan yang ditempuh Shyamasundara (Sri Krishna). Yang tertinggal hanyalah tubuh tanpa nyawa. Arjuna menangis keras-keras, “Kakanda! Apa yang akan saya katakan? Kita telah kehilangan ibu kita.” Dharmaraja yang berdiri di sebelahnya terguncang hebat oleh kejutan itu; ia melangkah mendekati tubuh ibunya dan berdiri terpaku ketika melihat wajahnya yang memucat.   

Para dayang di luar pintu mendengar perkataan Arjuna, mereka lalu mengintip ke dalam kamar. Tubuh Kunti Dewi terbaring di lantai. Arjuna meletakan kepala jenasah pada pangkuannya dan menatap wajah ibunya lekat-lekat dengan mata berkaca-kaca. Para dayang keraton saling menyampaikan berita ini; mereka masuk dan menyadari sang Ibu Suri telah meninggalkan mereka, tidak mungkin kembali lagi. Mereka menangis keras-keras ketika mengetahui malapetaka yang meremukan hati ini.     

Sementara itu berita tersebut terdengar oleh para ratu di ruang dalam. Dalam beberapa detik berita duka itu tersebar ke seluruh Hastinapura. Para ratu diliputi kesedihan. Mereka masuk tertatih-tatih sambil memukuli dada mereka dalam duka yang mendalam. Para penghuni istana datang melawat ke tempat tinggal Ibu Suri bagaikan aliran kesedihan yang tiada akhirnya. Bhima, Nakula, Sahadewa dan para menteri diliputi duka cita.        

Suasana diliputi kepedihan yang tidak terhingga. Tidak seorangpun dapat percaya bahwa Kunti Dewi yang beberapa menit sebelumnya menunggu-nunggu Arjuna, puteranya, dengan penuh kerinduan, ingin mendengar kabar yang dibawanya dari Dwaraka, tiba-tiba meninggal demikian mendadak. Mereka yang datang dan melihat, berdiri diam terpaku. Tangisan para dayang, ratapan para ratu, dan duka cita putra-putranya meluluhkan hati yang paling tegar sekalipun.

Bersambung kebagian ..."Penobatan Parikshit sebagai Raja"

Tidak ada komentar: