Kamis, 27 Desember 2012

Bhagavatam Part 22 : Arjuna melawan Dewa Shiva

Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini


Wyasa melanjutkan, "Oh raja, para kakek Ananda bersedia menyerahkan segala-galanya kepada Tuhan bila diperlukan; mereka juga siap bertempur dengan Tuhan jika diperlukan karena bila mereka bertempur seperti itu, sebenarnya mereka hanya mengikuti dharma bagi satria. Pastilah Ananda telah mendengar cerita tentang kakek Nanda berkelahi melawan Dewa Siwa dan memperoleh anugerah senjata surgawi pasupata-astra dari Beliau?" Mendengar ini sang raja tiba-tiba menegakkan kepalanya dan berkata, "Maharesi, apa yang Guru katakan? Apakah kakek nanda berperang melawan Dewa Siwa? Sejauh ini belum pernah nanda mendengarnya. Ceritakanlah tentang hal itu; puaskanlah keinginan ananda untuk mengetahui kejadian tersebut." Parikshit bersujud di kaki Wyasa mendesak agar beliau memaparkan kisah itu.


Wyasa terbatuk menjernihkan suaranya yang serak. "Nak, berapa cerita yang harus saya kisahkan kepada Ananda? Untuk menceritakan selengkapnya hubungan antara Pandawa dan para Dewa diperlukan waktu tidak hanya beberapa jam atau beberapa bulan, melainkan beberapa tahun. Meskipun demikian, karena Nanda memohonnya, akan saya ceritakan sebanyak-banyaknya sejauh waktu memungkinkan. Dengarkan Oh Raja. Pada waktu itu Pandawa bersaudara tinggal di hutan. Pada suatu hari Dharmaraja diliputi kecemasan. Ia merasa bahwa sepupunya yang jahat, pihak Kaurawa, mungkin tidak akan membiarkannya hidup dengan damai sekalipun masa pembuangan (kelak) telah berlalu. Tidak ada yang dapat memastikan bahwa mereka akan memberikan wilayah kerajaan yang merupakan bagian Pandawa. Dharmaraja khawatir kalau-kalau peperangan tidak dapat dielakkan dan para pemanah hebat zaman itu; Bhisma, Drona, Karna, serta Ashwattama semuanya akan berada dalam jajaran Pasukan Kaurawa. Ia was-was bahwa Pandawa tidak akan mampu mengalahkan gabungan kekuatan semacam itu. Ia takut kalau peperangan itu akan berakhir dengan kekalahan mereka dan mungkin Pandawa harus melewatkan tahun-tahun kehidupan mereka di dalam hutan (untuk seterusnya). Melihat kakaknya sangat sedih, Arjuna berbicara dengannya memohon restu serta izin untuk pergi bertapa agar dapat memperoleh senjata ampuh dari para Dewa guna mengalahkan musuh. Dharmaraja memberi petunjuk agar ia berangkat, menyenangkan para Dewa, dan melalui restu mereka, mendapatkan senjata untuk memenangkan perang."
"Arjuna pergi ke wilayah Gandhamana, suatu kawasan yang bahkan tidak dapat dicapai oleh pertapa yang paling berani sekalipun. Di sana ia bertapa untuk menyenangkan Indra, penguasa para Dewa. Penghuni surga loka heran melihat tapanya yang keras, kesungguhan, dan keuletannya. Indra menampakkan diri di hadapannya dan berkata, 'Nak, saya senang dengan tapamu, tetapi untuk memenuhi keinginanmu, pertama-tama dapatkan rahmat Siwa, setelah itu saya akan membawamu ke kahyangan dan mempersenjatai engkau dengan segala senjata yang dapat diberikan dari surga.

"Sesuai dengan nasehat Indra, Arjuna duduk bermeditasi pada Siwa untuk memperoleh rahmat Beliau. Sementara itu Siwa merencanakan suatu drama. Akan saya ceritakan hal itu kepada Ananda. Seekor babi hutan sangat besar yang sedang mengamuk dengan ganasnya, berlari dari seberang tempat Arjuna bertapa. Ia melihat binatang itu. Walaupun sebenarnya seseorang yang sedang bertapa tidak boleh menyakiti makhluk hidup apa pun, Arjuna bergegas mengambil busur serta panahnya ketika binatang itu akan menubruknya. Tepat pada saat itu tiba-tiba muncullah di hadapannya seorang lelaki suku Bhil (suku bangsa penghuni hutan) yang juga bersenjatakan busur dan panah. Lelaki itu disertai istrinya! Arjuna tercengang melihat seorang wanita mendampingi pria Bhil itu dalam rimba belantara yang tidak aman bagi manusia. Ketika diamatinya lebih teliti, dilihatnya suatu rombongan pengiring terdiri dari pria dan wanita di belakang lelaki Bhil tersebut. Mereka tampak beringas dan menjerit-jerit serta berteriak-teriak secara aneh. Arjuna bingung dan heran."

"Orang yang muncul pertama kali, pemburu berwajah garang dengan mata yang merah menyala, berkata kepada Arjuna, 'Kau di sana! Siapa engkau! Mengapa engkau datang ke tempat ini? Jika kau lepaskan panah pada babi hutan itu, walau secara tidak sengaja, nyawamu akan melayang! Hati-hatilah! Aku telah mengejarnya dan menghalaunya ke sini, apa hakmu mengarahkan busur dan panahmu ke arahnya?' Perkataan yang diucapkan lelaki itu menusuk hati Arjuna bagaikan anak panah. Ia merasa sangat terluka karena seorang pemburu biasa telah menghinanya."
"Orang ini tidak mengetahui nama atau kemasyhuranku, jika tidak, ia tidak akan menantangku, demikian dikatakannya kepada dirinya sendiri. Arjuna mengangkat busurnya dan memanah babi hutan tersebut; tepat pada saat itu lelaki Bhil itu pun melepaskan panahnya ke arah babi hutan."
Binatang itu terguling di tanah, mati. Si pemburu amat marah; ia memaki-maki Arjuna, 'Kau di sana! Engkau tidak mengetahui aturan perburuan. Bila aku telah melihatnya, mengejarnya, dan memilihnya sebagai sasaran panahku, mengapa engkau berani lancang mengarahkan panahmu kepadanya? Engkau orang barbar yang serakah!' Matanya memancarkan api, kemarahannya tidak terkendali. Arjuna pun menjadi marah. Ia membalas berteriak. 'Tutup mulut kau bedebah! Jika tidak, kukirim engkau ke alam maut. Selamatkan dirimu, jangan putar lidah! Kembali ke tempat asalmu.'"

"Lelaki Bhil itu menghadapi ancaman Arjuna dengan berani; ia tidak gentar. 'Siapa pun engkau, aku tidak takut. Mungkin tiga ratus
 tiga puluh milyar Dewa berada di pihakmu, tapi aku tidak akan menyerah. Awas! Engkau penyelundup! Siapa yang mengizinkan engkau masuk ke sini? Siapa engkau sehingga berani menyuruhku pergi? Hutan ini milik kami; engkau pencuri yang menyelundup masuk, dan engkau begitu kurang ajar berani menyuruh kami pergi!' jawabnya."
"Mendengar ini Arjuna menduga bahwa lelaki Bhil itu bukan pemburu biasa. Ia berbicara dengan nada lebih tenang. 'Hutan adalah milik umum; engkau datang untuk Berburu; aku datang bertapa untuk memohon rahmat Siwa. Kupanah babi hutan itu hanya untuk menyelamatkan diri dari kedudukannya.' Meskipun demikian si pemburu tidak melunak. 'Aku tidak peduli siapa yang kau puja, siapa yang akan kau sedangkan. Akuilah kesalahan yang telah kau lakukan. Mengapa kau panah binatang yang sedang kuburu? Mengakulah salah dan minta maaf. Bayar ganti ruginya!', desaknya. Arjuna kehilangan segala kesabarannya. Hidup orang ini pun akan berakhir seperti babi hutan itu, katanya dalam hati. Ia tidak dapat dilunakkan dengan kata-kata yang halus, demikian pikirnya."

"Karena itu, dipilihnya sebatang panah yang tajam, dipasangnya pada busur, dan dibidikkan ke arah lelaki itu. Panah itu menerpanya, tetapi bagaikan duri yang menghantam batu cadas, senjata itu jatuh ke tanah, bengkok akibat benturan tersebut! Arjuna keheranan dan terpaksa memasang anak panah bermata bulan sabit untuk memenggal kepala lelaki itu. Tetapi senjata ini dipukul ke samping oleh si pemburu dengan tangan kirinya seperti sehelai rumput."
"Akhirnya Arjuna mengirim hujan panah tiada putusnya dari tempat panah (keramat) yang selalu penuh yang tergantung di bahunya. Ini pun tidak mempan. Arjuna menjadi putus asa seperti orang yang telah dirampas segala miliknya dan tidak mempunyai sarana apa pun untuk mempertahankan diri. Ia berdiri tanpa daya, penuh kegeraman. Arjuna dapat diibaratkan dengan burung yang terpotong sayapnya, seperti harimau ompong yang tercabut kukunya, bagaikan perahu tanpa layar dan dayung."

"Ia berusaha memukul si pemburu dengan busurnya, tetapi akibatnya bahkan busur itu hancur berkeping-keping. Karena terperanjat melihat kejadian ini, Arjuna memutuskan akan melawan dengan tinju nya, karena itulah satu-satunya senjata yang masih ada. Sambil menggulung kain sarungnya, ia menyerang lelaki Bhil itu dan bergulat sekuat tenaga berusaha memperoleh kemenangan. Si pemburu menghadapi langkah baru ini sambil tertawa terbahak-bahak. Mereka berusaha keras saling menaklukkan dengan jepitan dan pukulan yang dahsyat sehingga tampak seakan-akan dua gunung sedang berkelahi mati-matian. Burung-burung di hutan sangat ketakutan oleh kegaduhan luar biasa itu sehingga mereka terbang dengan panik jauh tinggi di angkasa. Marga satwa penghuni hutan berdiri tertegun, membela lak, merasa bahwa ada bencana besar di dekatnya. Bumi bergeser, tidak mampu menahan beban pergulatan ini."
"Meskipun demikian, lelaki Bhil itu tidak memperlihatkan rasa lelah sedikit pun juga; ia tertawa, sama sekali tidak peduli. Ia tetap sama gesitnya seperti ketika perkelahian itu baru dimulai. Sedangkan Arjuna bermandi peluh; ia terengah-engah kehabisan tenaga, tinjunya memar dan berdarah. Lelaki Bhil itu tidak terluka dan tidak terpengaruh sedikit pun. Selain itu, ketika suatu kali lelaki Bhil itu memiting Arjuna dengan jepitan ringan, Arjuna muntah darah! Melihat ini, lelaki itu tertawa bengis dan gembira di hadapan wanita pendampingnya dengan pandangan yang bermakna, 'Kau lihatkah hal  itu?"

"Arjuna terhuyung-huyung dan sangat kebingungan. Ia kehilangan tambatannya. Dalam hati ia berbisik, 'Krishna! Mengapa Paduka menghina saya seperti ini? Ah, apakah ini juga suatu adegan dalam dharma Paduka? Pastilah Bhil ini bukan manusia biasa. Mungkin Paduka sendirilah yang datang dalam wujud ini untuk melenyapkan kesombongan saya. Aduh! Saya dikalahkan oleh seorang pemburu penghuni hutan! Tidak, ini strategi Paduka, permainan Paduka, Lelaki Bhil ini bukan manusia biasa. Selamatkan saya karena saya percaya orang ini adalah Padukan sendiri."

"Ketika Arjuna menyatakan hal ini dan berpaling ke arah pasangan di hadapannya, dilihatnya di situ bukan lelaki Bhil itu beserta istrinya, melainkan Siwa dan permaisuri Beliau, Gowrie. Mereka memberkatinya dengan senyum manis; tangan mereka diangkat dengan telapak tangan menghadap ke arahnya dalam sikap abhaya, meyakinkan Arjuna bahwa tidak ada alasan baginya untuk merasa takut."

"Arjuna dipenuhi sukacita. Ia berseru ke arah mereka sambil berseru, 'Oh Sangkara! Ibu Gowrie!', lalu bersujud di kaki mereka. Ia mohon agar mereka mengampuninya karena ketidaktahuannya dan sikapnya yang gegabah. Gowrie dan Sangkara yang merupakan pengejawantahan rahmat, mengangkat bahu Arjuna dengan penuh kasih dan mengusap-usap kepalanya dengan rasa sayang. 'Nak,' kata mereka, 'Hidupmu telah membuahkan hasil; engkau melakukan kewajibanmu sebagaimana mestinya. Itu sama sekali tidak salah. Sekarang terimalah ini; inilah tanda rahmat Kami,' dan Arjuna menerima senjata pasupata astha yang keramat dari tangan Siwa sendiri."
"Oh Maharaja, bagaimana saya dapat memuji keperkasaan kakek Ananda? Ia telah bertempur dengan Siwa yang bersenjatakan trisula yang tidak terkalahkan. Sumber keteguhan dan keberanian itu terletak pada rahmat yang dilimpahkan Sri Krishna kepadanya. Para kakek Namda bahkan tidak pernah memikirkan kegiatan yang paling remeh sekalipun tanpa perintah khusus dari Sri Krishna. Sesungguhnya dalam perang Mahabharata setiap saat rahmat Beliau dianugerahkan secara berlimpah tanpa diminta. Dalamnya kasih yang telah mendorong pemberian rahmat itu hanya diketahui oleh mereka; orang lain tidak akan dapat menduganya." Ketika Wyasa mengenang semua kejadian in, merebaklah air matanya karena gembira atas kemujuran Pandawa bersaudara. Bukan hanya Wyasa.

Orang yang mendengarkan, Parikshit, bahkan lebih dipenuhi oleh rasa kagum dan syukur. Ia mengucurkan air mata suka cita, bibirnya gemetaran karena emosi, dan suaranya terputus-putus karena sangat gembira. Ia tidak dapat menahan dirinya lagi. Serunya, Ah, alangkah beruntungnya Nanda karena lahir dalam garis keturunan ini! Alangkah berani, penuh bakti, dan mengagumkan para leluhur Nanda! Dan bayangkan, betapa mujurnya Nanda karena dapat mendengarkan keagungan mereka dari bibir pertapa yang suci seperti Maharesi! Oh, Nanda benar-benar terberkati. Bila Nanda mendengarkan perbuatan-perbuatan hebat yang dilakukan oleh para kakek Nanda serta kemuliaan Sri Krishna, Nanda tidak pernah dapat mengatakan bahwa Nanda sudah mendengar cukup banyak. Nanda ingin mendengarkan lebih banyak lagi."
"Mohon ceritakan pada Ananda bagaimana Bhagawan menyelamatkan dan melindungi para kakek Nanda dalam pertempuran. Kisah itu akan memuaskan rasa lapar dan meredakan rasa haus Nanda."

Tidak ada komentar: