Jumat, 21 Maret 2014

Ogoh-ogoh bukan Pornografi apalagi pelecehan terhadap simbul Hindu.




Entah apa yang menjadi misteri atau Taksu apa yang menjiwai sehingga pembuatan boneka raksasa yang di Bali dikenal dengan nama Ogoh-Ogoh itu begitu menenggelamkan pikiran banyak orang untuk menekuninya sampai-sampai mereka rela mengesampingkan hal lainnya hanya demi sebuah kreatifitas seni dalam wujud pembuatan Ogoh-Ogoh. Memang hal serupa tidak hanya ada di Bali saja. Di daerah lain seperti Betawi juga ada gambaran yang sama yang dikenal dengan nama Ondel-Ondel. Dan di India, tradisi membuat serta mengarak boneka raksasa ini juga ada dan sangat meriah pada saat perayaan Ganesha Caturiti. Namun ritual Ogoh-Ogoh dengan ritual pada Ganesha Caturiti jelas menjadi sesuatu yang berbeda sebab dalam pembuatan Ogoh-Ogoh yang dikaitkan dengan Upacara tawur kesanga untuk perayaan Hari raya Nyepi, boneka raksasa itu dibuat dengan penggambaran Bhuta kala (Asura) dengan ciri khas wajah yang seram, kuku panjang, rambut terurai serta hal lain yang menjadi pembeda dengan peradaban manusia. Sedangkan untuk Ganesha Caturiti, boneka raksasa yang dibuat pada saat itu hanyalah dalam wujud Dewata Sri Ganesha, sebagaimana sejarah dari hari raya itu yang dimaksudkan sebagai hari kemunculan Sri Maha Ganesh (Putra dari Dewa Shiva dengan Saktinya Gauri Dewi).

Sampai saat ini belum ada kepastian sejarah tentang awal mulanya kegiatan pembuatan ogoh-ogoh ini, apakah ada kaitannya dengan perayaan Ganesha Caturiti di India ataukah tidak, namun beberapa sumber mengatakan bahwa besar kemungkinan tradisi ogoh-ogoh ini berkaitan dengan beberapa tradisi lama masyarakat Hindu Bali semisal Tradisi Barong Landung yang mengisahkan tentang seorang putri Dalem Balingkang, Sri Baduga dan pangeran Raden Datonta yang menikah ke Bali. Yang mana pada saat itu ada tradisi meintar dan mengarak dua boneka yang berwujud laki-laki dan wanita mengelilingi desa tiap sasih keenam sampai kesanga, Tradisi lainnya yang bernama “Ndong Nding” semacam tradisi pengusiran hama di Karangasem, yang  menggunakan lelakut, semacam orang-orangan sawah. Dimana hama yang diibaratkan sebagai sang bhuta kala dengan aspeknya sebagai energi negatif yang mengganggu manusia sehingga perlu diwujudkan untuk kemudian dilebur juga seringkali dikaitkan dengan tradisi ogoh-ogoh sekarang ini

Senin, 03 Maret 2014

Glory of Sai. Mengapa Sai Baba tidak merubah dunia.





Manusia dalam keterbatasan cara pandang dan pemikirannya seringkali bertindak bodoh untuk menilai kinerja Tuhan lalu mengukurnya dengan cara manusiawinya. Mereka lupa bahwa kegiatan Tuhan tidak bisa dimaknai hanya dari sudut pandang kekinian saja. Dengan melupakan hal ini, manusia akhirnya bertindak ceroboh menghina kegiatan Tuhan yang tampak sangat sepele untuk dilakukan atau bahkan yang tidak dilakukan-Nya karena sesuatu dan lain hal yang dalam pemahaman manusia terkadang memunculkan sebuah kekecewaan, dan sikap yang terputar balik. Ambillah contoh ketika Sri Krishna tidak berusaha menghentikan hujan pada waktu penduduk Gokul dilanda petaka hujan berkepanjangan selama tujuh hari sehingga mengakibatkan banyak kehancuran pada barang-barang kepemilikan masyarakat di tempat itu. Padahal dengan kemampuan Adi kodrati-Nya Sri Krishna kecil bisa saja memarahi dewa Indra lalu menyuruhnya menghentikan hujan itu tanpa menunggu waktu yang begitu lama. Namun Tuhan tidak melakukannya, Ia justru mengangkat Bukit Govardhan sebagai tempat berlindung bagi seluruh penduduk desa dan hewan ternaknya. Kenapa hal ini beliau lakukan ? Bagi mereka yang selalu menggunakan kaca mata kemanusiaannya untuk menilai hal ini, tentu akan berpikir bahwa Sri Krishna hanya ingin pamer kekuatan agar Ia terus dipuja dan diagungkan oleh manusia. Jarang dari kita yang mau berusaha untuk mencari pandangan Tuhan, bahwasannya ada banyak sebab yang membuat Beliau harus mengambil keputusan demikian. seperti   diantaranya adalah untuk memenuhi janji-Nya kepada bukit Govardhan untuk mempergunakannya dalam karir keavataraan Beliau setelah pd jaman Sri Rama, bukit ini gagal memperoleh kesempatan untuk melakukan pelayanan di kaki padma Tuhan sebagai Sri Rama sewaktu bala tentara kera beliau membuat jembatan menuju Alengka dengan mempergunakan seluruh batuan, pohon dan juga bukit-bukit. Hal lainnya tentu kita ingat bahwa Leela demikian dimainkan Sri Krishna guna menyadarkan Dewa Indra tentang kekhilafannya yang menganggap bahwa kekuatan serta kekuasaan yg dimilikinya adalah berasal dari dirinya sendiri. Padahal semua itu adalah berkah dari Tuhan Sri Krishna sendiri.