Selasa, 09 September 2014

Reinkarnasi atau tinggal di Alam Barzakh



Dalam pandangan dan ajaran agama Abrahamik yang tidak mengakui adanya kelahiran kembali, Punarbhawa atau Reinkarnasi, maka setelah kehidupan seseorang berakhir, ia akan tetap berada di alam kubur (Barzakh). Secara harfiah Barzakh berarti jarak waktu atau penghalang antara 2 hal dan tidak ada yang sanggup melewatinya. Menurut syariat Islam barzakh berarti tempat yang berada di antara maut dan kebangkitan. Ketika sang jiwa atau roh berada di ala mini, dia sudah akan mengetahui nasibnya. Apakah termasuk penghuni surga atau neraka. Jika seseorang menjadi penghuni surga, maka dibukakan baginya pintu surga, hawa sejuk surga akan mereka rasakan setiap pagi dan sore. Sebaliknya jika menjadi penghuni neraka, pintu neraka pun akan dibukakan untuknya dan dia akan merasakan hawa panas neraka setiap pagi dan sore.

Al-Barra bin ‘ Azib menceritakan hadits yang panjang yang diriwayat Imam Ahmad tentang perjalanan seseorang setelah kematian. Seorang mukmin yang akan meninggal dunia disambut ceria oleh malaikat dengan membawa kain kafan dari surge. Kemudian datang malaikat maut duduk di atas kepalanya dan memerintahkan roh yang baik untuk keluar dari jasadnya.
Selanjutnya disambut oleh malaikat dan ditempatkan di kain kafan surga dan diangkat ke langit. Penduduk langit dari kalangan malaikat menyambutnya, sampai di langit terakhir bertemu  Allah, kemudian Allah memerintahkan pada malaikat untuk mencatat kitab hamba-Nya ke dalam ’illiyiin dan dikembalikan rohnya ke Barzakh. Setelah dikembalikan lagi roh itu ke jasadnya , selanjutnya datanglah dua malaikat,  Munkar dan Nakir  yang akan menanyai sang roh dengan 4 pertanyaan ini :
  • "Siapa Tuhanmu?"
  • "Apa agamamu?"
  • "Siapa lelaki yang diutus kepadamu?"
  • "Siapa yang mengajarimu?"
Menurut syariat islam, hanya orang yang beriman saja yang dapat menjawabnya dengan baik. Maka kemudian akan diberi alas dari surga, mendapat kenikmatan di kubur dengan selalu dibukakan baginya pintu surga, dilapangkan dan diterangkan kuburnya. Sang mayat akan mendapat teman yang baik dengan wajah yang baik, pakaian yang baik dan aroma yang baik. Lelaki itu adalah gambaran dari amal perbuatannya selama hidup di dunia. Keadaan berubah sebaliknya jika si mayat adalah orang yang tidak beriman.(dr Wikipedia.org)

Demikianlah keadaan sang roh setelah meninggalkan badan kasarnya di bhumi. Ia akan tetap berada di alam kubur sampai pada hari kiamat dan pengadilan akhirat di gelar untuk menentukan apakah sang jiwa akan mendapatkan alam Surga ataukah Neraka. Tidak ada disebutkan apakah ada kehidupan baru setelah dunia ini dileburkan, sebab jika tidak aka nada penciptaan baru, berarti para roh yang dikirim ke neraka harus menjalani siksa abadi tanpa ada pengampunan ataupun kesempatan untuk bertobat dan memperbaiki diri agar endingnya bisa kembali bersatu dengan Allah sang pencipta. Ibarat air sungai yang harus kembali menyatu kepada lautan sebagai sumber keberadaannya.

Dalam ajaran Hinduisme, perbedaan pandangan ini secara jelas termuat dalam salah satu pilar Panca sradha atau 5 keyakinan dasar agama hindu, dimana salah satunya menyebut tentang kepercayaan akan adanya kelahiran kembali setelah sang jiwa meninggalkan badan fisiknya yang terdahulu. Hal inipun sekarang telah banyak dibuktikan oleh para ilmuan dengan penelitian menggunakan metoda Hipnotherapy, dimana beberapa praktisi mampu mengingat beberapa kejadian dalam kehidupannya terdahulu. Hanya saja dalam perkembangannya, masih banyak umat yang justru terjebak dalam pemahaman yang keliru memaknai hal ini. Dimana mereka beranggapan bahwa jiwa atau roh dari seseorang yang telah meninggal pada akhirnya hanya akan berada atau ditempatkan di paibon (alam para leluhur) jika sudah selesai proses pengabenannya sehingga jikalaupun mereka merasa perlu untuk lahir kembali, mereka akan lahir sebagai anak dalam silsilah keluarganya sendiri. Hal ini tentu agak sedikit rancu karena seolah-olah sang jiwalah yang menentukan siapa yang akan menjadi orang tuanya, dan dikeluarga mana ia ingin menjelma. Padahal hukum Karma phala menyatakan bahwa kehidupan seseorang atau Sang jiwa akan sangat bergantung dari jenis perbuatan yang dilakukannya semasih menggunakan badan dalam kehidupan sebelumnya. Bhagavad Gita Bab 9.25 juga dengan tegas telah mengisyaratkan bahwa orang yang dalam kehidupannya memuja para dewa, maka jika hasil atau pahala dari karmanya itu mencukupi, maka ia akan ditempatkan di alam para dewa atau Surga. Demikian pula orang yang memuja leluhur dan karma baiknya mencukupi maka akan ditempatkan di alam leluhur, dan sebaliknya orang yang dalam kehidupannya telah menjadi pemuja bhuta, roh ataupun mahluk halus, maka ia akan dikirim kealam mahluk-mahluk demikian untuk menjadi pelayan mereka. Sedangkan orang yang dalam hidupnya selalu tekun memikirkan dan memuja Tuhan, maka ia akan diberikan kesempatan untuk tinggal dalam kerajaan Tuhan.


Sloka ini secara tidak langsung telah menegaskan bahwa segala bentuk yajna atau ritual dalam sebuah tradisi keagamaan untuk membantu sang roh mendapatkan tempat yang baik hanyalah sebuah sarana pengharapan dan doa dari pihak keluarga dimana keikhlasannya akan bisa dijadikan pertimbangan untuk memutus perkara sang jiwa dan bukan sama sekali menjadi media untuk meloloskan sang jiwa dari efek karma phalanya untuk segera bisa dinaikkan sampai menjadi Dewa Hyang. Memang tak bisa dipungkiri bahwa dalam beberapa kasus, sang jiwa yang berada di alam leluhur juga banyak yang terlahir kembali menjadi bagian dari keluarganya terdahulu. Namun tetap hal ini bukan menjadi sebuah kemutlakan dalam artian bahwa sang jiwapun masih dimungkinkan untuk dikirim ke belahan dunia lain, dalam keluarga yang sangat berbeda, bahkan mendapatkan badan yang bukan manusia. Sebab bukan tidak mungkin bahwa jika karma masa lalu dari sang jiwa tidak baik, ia justru akan dilahirkan kembali menggunakan badan binatang untuk mempertanggung jawabkan hasil perbuatannya ataupun untuk menjalani proses pemurnian agar bisa lebih cepat mencapai tujuan akhir kehidupannya.

Kejadian seperti ini telah terjadi dan diceritakan langsung oleh Mahaguru Bhagavan Sri Sathya Sai Baba yang diyakini sebagai perwujudan Avatara dari Shiva Shakti. Pada waktu itu bertempat di pendapa Sai Kulwant, Prashanti Nilayam pada tanggal 20 Oktober 2002, Sathya Sai Baba mengisahkan tentang kisah kanak-kanaknya sebelum akhirnya ia mendeklarasikan diri sebagai Shirdi Sai yang telah datang kembali dalam wujud Sathya Sai untuk membimbing umat manusia kembali ke jalan Dharma.
… di kelas Aku biasa duduk sebangku dengan dua anak lain. Aku duduk di tengah sedangkan Ramesh dan Suresh masing masing duduk di sampingku. Persetasi sekolah mereka tidak terlalu baik. Bila guru-guru mengajukan pertanyaan kepada mereka maka mereka memberikan jawaban yang Kubisiikan. Ketika tiba waktunya untuk menempuh ujian akhir, nomor pendaftaran kami berada dalam urutan yang sedemikian rupa sehingga kami bertiga duduk sangat berjauhan satu sama lain, sehingga tidak mungkinlah mereka bisa menjiplak. Keadaan ini sangat mengkhawatirkan mereka, tapi Aku menanamkan keberanian dalam diri mereka dengan berkata :” Kalian tidak perlu menulis apa-apa. Datang dan berpura-puralah menulis jawabannya. Biar nanti Aku yang akan membereskannya “ kedua orang ini memiliki bhakti dan keyakinan yang cukup baik kepadaKu sehingga menggerakkan rahmat-Ku untuk menolongnya, maka seperti janjiku, merekapun akhirnya bisa lulus dengan prestasi yang baik karena aku telah menuliskan jawabannya sesuai dengan gaya dan tulisan mereka tanpa diketahui siapapun. Kedua anak laki-laki itu bersahabat karib denganku. Ketika Aku meninggalkan Uravakonda, Ramesh dan Suresh tidak mampu menanggung perpisahan dengan Aku. Ramesh merasa sangat sedih. Ia jatuh ke dalam sumur dan meninggal. Sedangkan Suresh terus menerus memanggil namaku, “Raju..Raju..” sampai akhirnya menjadi gila. Ia dibawa ke berbagai rumah sakit jiwa tapi keadaannya tidak membaik. Akhirnya orang tuanya datang menemuiku dan memohon agar aku bersedia menjenguknya. Ketika melihat Aku, Suresh menangis lalu berlari dan bersujud menyerahkan diri kepadaku lalu menghembuskan nafas terakhirnya.

Ketika aku kembali ke Puttaparthi, Karanam Subbamma memberikan tanah seluas satu acre di dekat pura Sathyabamma dan disitu dibangulah sebuah rumah kecil dimana aku biasa tinggal. Ramesh dan Suresh yang sama lahir kembali sebagai dua anak anjing dan diberikan kepadaku oleh seorang bhakta. Saudara perempuan Maharaja Mysore lalu menamai kedua anjing kecil itu Jack dan Jill. Kedua anjing ini selalu menyertai aku kemanapun.
Suatu hari Maharani Mysore dating untuk memperoleh dharsan-Ku. Ia adalah wanita yang berpegang teguh pada adat dan juga seorang bhakta yang penuh semangat. Setiap hari ia melakukan puja dengan bunga-bunga yang telah disucikan dengan percikan air dan susu. Karena jalanan menuju Puttaparthi pada saat itu tidak ada yang baik, Ia menghentikan mobilnya di Karnatakanagepalli di tempat yang sekarang menjadi Pedda Venkama Raju Kalyam Mandapam. Maharani memutuskan untuk bermalam di mandir sementara sopirnya kembali dan tidur di mobil. Aku menyuruh Jack untuk menyertai sopir itu dan menunjukkan jalan. Jack berjalan di depan dan sang sopir mengikutinya. Lalu Jack tidur di bawah mobil. Keesokan harinya, saat ingin berangkat menjemput Maharani, sang sopir tidak menyadari ada anjing di bawah mobilnya. Punggung Jack tergilas dan tulang punggungnya patah. Jack menyeret tubuhnya melewati sungai Chitravati sambil menangis. Seorang tukang cucui bernama Subanna memberitahukan hal ini dan Aku segera pergi keluar. Jack datang kedekatku sambil mengaing keras lalu jatuh di kaki-Ku dan menghembuskan napas terakhir. Ia dikuburkan di belakang mandir lama dan disitu didirikanlah Vrndavanam (tempat untuk menanam pohon tulasi). Sesuai dengan petunjukku, tempat untuk menanam tulsi itu dibangun di sebelah kuburan Jack, bukan ditengahnya. Kuberitahu agar disediakan tempat untuk satu liang kuburan lagi karena aku tahu bahwa beberapa hari lagi saudaranya Jill akan menyusul. Dan demikianlah bahwa setelah Jack mati, Jill tidak mau makan dan setelah beberapa hari Iapun menyusul Jack. Dengan cara ini Ramesh dan Suresh bertapa agar dapat menyertai Aku. Bahkan saat meninggalpun mereka lahir lagi sebagai anjing agar dapat selalu berada di dekat-Ku.

Mendapatkan badan binatang dalam sebuah penjelmaan memang terkesan begitu rendah dalam pandangan manusiawi karena derajat dan kwalitas kehidupan para binatang memang berada di bawah level manusia oleh karena itulah maka sastra mengingatkan agar jiwa-jiwa yang telah berkesempatan memperoleh badan manusia, bisa menghargai dan menggunakan kesempatan langka itu untuk berbuat sesuai dengan asas kemanusiaannya. Mendapatkan badan manusia merupakan sesuatu yang sangat sulit dan mesti diperjuangkan dari berpuluh-puluh kelahiran serta evolusi mahluk yang berjumlah 8.400.000 jenis kehidupan.(Wr)