Jumat, 06 Juni 2014

Sarana dan Prosesi Agni Hotra-2



Tata cara pelaksanaan
Persembahan Hoa  Yajña/Agnihotra sebaiknya dipimpin oleh seorang Dvijati atau pandita (pūjāri), bila tidak memungkinkan dapat dilaksanakan oleh seorang pamangku atau pinandita yang hidupnya senantiasa Vegetarian. Namun jika tidak ada sama sekali, upacara inipun bisa dilakukan sendiri dengan keyakinan sebab Agni Hotra merupakan kewajiban bagi semua Grhasta. Para peserta mengiringi pemimpin ūpacāra dengan mengucapkan Svāha (untuk Deva Yajña dan Yajña yang lain) dan Svādha khusus untuk ūpacāra Hoa  Yajña yang dilakukan dalam rangka Pitra Yajña, pada akhir setiap mantra dengan sekaligus mempersembahkan persembahan yang telah disediakan dengan bahan persembahan yang diletakkan di atas telapak tangan dalam posisi tengadah yang disorongkan kedalam Kunda atau Vedi, tempat api persembahan berkobar. Hoa  Yajña yang dilakukan dalam rangka ūpacāra kematian, biasanya dilakukan setelah 12 hari selesai pembakaran jenasah (Antyesti atau Ngaben), sebelum hari tersebut dipandang masih dalam keadaan Cuntaka. Peserta yang mengikuti ūpacāra Hoa  Yajña/Agnihotra dilarang bercakap-cakap dengan sesama peserta, merokok, minum minuman keras dan melakukan penyucian diri (mandi besar) jika sebelumnya melakukan hubungan suami-istri.

Pemimpin Upacara atau para Pinandita / Hotri duduk melingkar mengelilingi kunda, dan sang Yajamana yang akan menuangkan persembahan kedalam api duduk di depan Kunda,sedangkan peserta lainnya mengambil posisi dibelakangnya. Sang Yajamana atau yang mempersembahkan ūpacāra dan seluruh peserta ūpacāra tidak diperkenankan meninggalkan ūpacāra sebelum ūpacāra selesai dilaksanakan. Posisi duduk peserta ūpacāra adalah: peserta wanita di sebelah kiri dan laki-laki di sebelah kanan kunda atau vedi. Dilarang keras mempersembahkan lilin, dupa atau bahan-bahan persembahan lain yang telah jatuh ke tanah, karena telah cemar. Pelaksanaan Hoa  Yajña/Agnihotra dimulai dengan menyiapkan air suci (sedapat mungkin Tirtha Gangga), dan sangat baik bila seorang atau beberapa Dvijati (pandita) terlebih dahulu “ngarga” atau memohon Tīrtha dengan menghadirkan dewi Gangga (dengan sarana Ganggastava) di dalam Kumbha (di atas Tripada) sebagai sarana dalam acara Hoa  Yajña/Agnihotra. Selanjutnya dilakukan penyucian diri (acamana) dan Praāyama. Setelah penyucian diri dan praāyama dilanjutkan dengan pemujaan kepada Agni (menggunakan mantra Agni Sūkta/gveda I.1-9), Gāyatri mantram 108 atau 21 kali, Mahamtyuñjaya 21 kali. Sangat baik bila sebelum mempersembahkan Hoa  Yajña didahului dengan mempersembahkan pejati dan pesaksi kepada Devata yang bersthana di sebuah pura bila ūpacāra itu dilaksanakan di dalam pura. Bila dikaitkan dengan ūpacāra besar, sangat baik dilengkapi dengan Pañcadhatu (emas, perak, tembaga, kuningan dan besi). Adapun bentuk kunda atau vedi umunya berbentuk piramid terbalik, dapat dibuat dari tembaga atau besi, disamping juga dari batu bata atau sebuah paso (belanga yang agak datar di Bali juga disebut dengan nama cobek dan semuanya harus baru (payuk anyar). Bila ūpacāra Hoa  Yajña/Agnihotra dilaksanakan pada pagi hari sangat baik bila menghadap ke Timur, sore hari menghadap ke Barat. Bila didepan altar atau pelinggih, sebaiknya menghadap altar atau pelinggih tersebut. Demikian pula bila dilaksanakan di tepi pantai hendaknya menghadap ke laut, di pegunungan diarahkan ke puncak gunung dan di tepi sungai atau mata air, di arahkan ke sungai atau mata air.



F. Mantra yang digunakan Mantram-mantra yang digunakan pada umumnya diambil dari mantram-mantram kitab suci Veda, dan banyaknya Sūkta yang dirapalkan tergantung kepada tujuan ūpacāra Hoa  Yajña tersebut, demikian pula pilihan Sūkta umumnya disesuaikan dengan situasi pada saat ūpacāra dilaksanakan, misalnya untuk ūpacāra Deva Yajña dan lain-lain. Berikut kami sampaikan susunan mantram yang digunakan serta terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia:




Sarana dan Prosesi Agni Hotra I



Dewasa ini, Upacara agni hotra atau Homa yajna sudah semakin dikenal dan digemari oleh masyarakat bali. Terbukti dengan semakin banyaknya permintaan untuk melakukan yajna ini. Bahkan dalam sehari, seorang Hotri/ hotraka atau Pandita yang memimpin upacara agni hotra ini bisa mendapat permintaan lebih dari sekali dalam sehari. Hal ini tidak terlepas dari efesiensi dan juga manfaat nyata yang bisa didapat dari upacara dimaksud. Sebab upacara Agni Hotra selalu bisa dikaitkan atau dirangkaikan dengan beberapa upacara keagamaan lainnya seperti Agni Hotra untuk megedong-gedongan, untuk merayakan tiga bulanan, pawiwahan, membersihkan pekarangan (secara niskala) dan juga untuk menyempurnakan upacara pitra yajna.

Mengingat prosesi, kelengkapan, penyediaan tempat dan juga biayanya yang relative murah telah menjadikan upacara Agni hotra sebagai pilihan bijak bagi mereka yang kesehariannya selalu sibuk dengan pekerjaan dan juga bagi mereka yang menginginkan  sebuah formula praktis, simple, dan juga ekonomis namun tetap tidak kehilangan makna  dalam beragama. Sebab dalam ritual agni hotra, semua kelengkapannya merupakan bahan-bahan yang amat mudah dicari dengan harga yang cukup terjangkau. Seperti misalnya biji-bijian, beras, kayu bakar, minyak goreng, susu, dan lain-lain. Waktu untuk menyiapkan sekaligus melaksanakannyapun  relative sangat singkat sekitar 3 sampai 4 jam saja.
Keberhasilan suatu yajna memang tidak bisa diukur dari seberapa besar biaya yang dikeluarkan ataupun dari seberapa banyak dan meriahnya bebantenan yang dipakai namun lebih kepada efek atau dampak yang ditimbulkannya kepada sang Yajamana. (apakah setelah melakukan suatu upacara, orang yang bersangkutan bisa lebih mendapatkan ketenangan, ketentraman dan kebahagiaan ataukah sebaliknya) sebab seringkali terjadi di masyarakat bahwa ketika upacara yang dibuatnya selesai, hidupnya tidak semakin membaik karena terus dikejar oleh kewajiban membayar hutang karena meminjam uang demi lengkapnya sebuah upacara atau bahkan mengalami keretakan keluarga karena biaya upacara diambil dari hasil pembagian warisan orang tua. Hal ini tentu tidak sejalan dengan prinsip dan cita-cita dari agama itu sendiri. Sebab agama mengajarkan bahwa manusia hendaknya hidup secara rukun untuk mencapai artha dan kama yang dilandasi Dharma sehingga kebahagiaan jagadhita dan moksa sebagai tujuan akhir bisa tercapai.

Hal ini tentu sangat terkait dengan masing-masing individu untuk memulainya, terutama untuk menyadari dan mengetahui bahwa yajna atau pelaksanaan korban suci itu adalah sebuah keharusan bagi semua orang sebagaimana ujar Bhagavad Gita bahwasannya jika kita lalai akan sebuah kewajiban lalu bagaimana seseorang bisa mendapatkan kebahagiaan dalam hidupnya kini maupun dalam penjelmaannya yang akan datang. Oleh karena itu segala bentuk dan kegiatan yajna untuk menyenangkan para dewa tetap harus dijalankan yang mana hal itu tentu harus didasarkan pada keikhlasan, keyakinan, serta niat dan usaha sendiri. Sebab jika kita melakukan upacara yajna tanpa dilandasi oleh pengetahuan tentang makna, tata cara maupun tujuan upacara dimaksud, tanpa dilandasi keikhlasan dan jerih payah sendiri, hal itu sama saja dengan membuang-buang waktu karena hanya akan mengantarkan kita pada moha atau kebingungan. Oleh karena itu, sangat penting bagi sang Yajamana (orang yang akan melakukan yajna) untuk membuat atau mendapatkan kelengkapan ritual itu sendiri sebagai tanda keikhlasan dan niat sungguh-sungguh untuk mempersembahkan hasil kegiatan kita kepada para dewa. Sebab jika Yajamana hanya menyerahkan segala sesuatunya kepada orang lain atau Hotri untuk melengkapinya, sehingga ia hanya perlu mengeluarkan uang lalu duduk manis menunggu selesainya upacara, ini bukanlah tanda kebajikan dalam beragama sebab yang terpenting dari setiap ritual agama bukanlah pada bagaimana upacara itu bisa selesai dengan lancar saja tetapi lebih kepada bagaimana setiap orang terdidik untuk belajar mengetahui proses kegiatan upacara dimaksud sehingga bisa menumbuhkan sradha serta kecintaan terhadap nilai agamanya sehingga generasi Hindu kedepannya bisa lebih percaya diri dalam menjawab segala pertanyaan umat lain yang sering terkesan menyudutkan karena ketidak berdayaan kita menjelaskan makna dan tujuan upacara agama secara logis sehingga menimbulkan kesan bahwa sebagian besar umat hindu beragama hanya karena warisan, dan ikut-ikutan dengan dalil ‘Anak mule keto”